Posted by: rario | 2018/08/17

Buya HAMKA: ”MAKA PECAHLAH MUHAMMADIYAH?”

Oleh: Djarnawi Hadikusumo.

———————————————

Referensi ishlah dari Muhammadiyyah. (Redaksi)

———————————————

Kaum Muda Muhammadiyah tengah menebak–nebak, apa yg terjadi jika kedua tokoh Muhammadiyah itu saling berhadapan. Siapa lebih tangguh? Siapa lebih banyak pendukung, & bagaimana sidang tanwir nanti berjalan?
Kedua tokoh yg saling berhadapan itu ialah Buya Hamka & K.H. Farid Ma’ruf.
“Kami yg muda² tdk sabar kedatangan sidang tanwir itu. Kami sangat antusias utk menyaksikan kedua tokoh itu berdebat di atas mimbar. Tak sabar spt menanti pertarungan antara Muhammad Ali melawan Joe Frazier,“ kenang pak Djarnawi*.

Ketegangan memang terasa di kalangan Muhammadiyah, terutama pd tingkat pimpinan. Bukan hanya tegang, Pak Djarnawi melukiskan, “Pd tahun 1960, terjadi kehebohan di Muhammadiyah“.

Penyebabnya, pak Moelyadi Djoyomartono diangkat Bung Karno sbg menteri sosial. Padahal, hubungan Muhammadiyah dg Bung Karno sedang Memburuk menyusul pembubaran Masyumi.

Terjadi Pro & Kontra.

Yg mendukung pak Moelyadi sbg mensos adalah pak Farid Ma’ruf. Beliau punya alasan, semua utk Muhammadiyah, bukan utk diri sendiri.

Yg tdk setuju menganggap, menerima jabatan itu berarti Muhammadiyah bertekuk lutut di kaki Soekarno.

Terjadi ketegangan yg merata dari Pusat sampai Daerah.

Dalam suasana ini, lahirlah rumusan kepribadian Muhammadiyah. Ini muncul dari kegelisahan Fakih Usman terjadi ketidak harmonisan sa’at itu. Puncaknya, Hamka menulis di harian Abadi berjudul, “Maka Pecahlah Muhammadiyah”.
Hamka menyatakan, ada dua golongan dalam Pimpinan Pusat yaitu golongan istana & luar istana. Hamka menyebut Farid Ma’ruf sbg golongan istana krn selalu berusaha membawa Muhammadiyah ke Istana.

Pengaruh tulisan Hamka sangat besar. Sebab, beliau tokoh Muhammadiyah, mubaligh kenamaan, & pengarang terkenal. Apalagi harian Abadi sa’at itu tercatat sbg koran besar yg beredar sampai ke pelosok tanah air. Buntutnya, sebagian besar orang Muhammadiyah menyudutkan Farid Ma’ruf & Moelyadi.
Dalam sidang tanwir di Gedoeng Muhammadiyah Yogyakarta, Hamka dipersilahkan tampil ke mimbar lebih dulu utk menjelaskan tulisannya di harian abadi, sekaligus sbg pertanggungjawaban.

Semua menunggu.

Hamka berdiri tenang. Wajah & matanya berbicara lebih dulu dari pada bibirnya. Tiba², pelupuk mata Hamka penuh air mata. Dg suara tersendat, Hamka mengakui bahwa jika perasaannya tersentuh segera tangannya mencari pulpen lalu menulis. Semua yg ditulis di harian Abadi bermaksud baik, didorong cintanya kpd Muhammadiyah. Namun, jika tulisan itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf yg sangat dicintainya, Hamka menyatakan sangat menyesal, mohon ampun & ma’af kpd Farid Ma’ruf.

Giliran Farid Ma’ruf tampil. Ia ke mimbar dg membawa map berisi berkas² sbg pertahanan krn mengira Hamka akan menyerangnya bertubi-tubi. Dia juga siap memberi serangan balasan. Di mimbar, Farid lama terdiam. Sikap Hamka sama sekali tdk diduganya. Tdk menyerang, malah minta ampun kpdnya di depan umum. Map yg dibawa akhirnya tdk dibuka.
Dg suara datar & wajah tenang. Farid menyatakan, kesediaan pak Moel menerima jabatan Mensos adalah dg niat baik demi Muhammadiyah, yaitu membantu amal sosial Muhammadiyah. Menurut Farid, kondisi sekarang masih tetap diperlukan kerja sama Muhammadiyah dg Pemerintah. Perbedaan antara dia dg Hamka sama² didorong niat baik. Jika pendiriannya dinyatakan salah & dikhawatirkan membawa Muhammadiyah ke Istana, Farid berujar, “maka dg ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat ….”.

Belum lagi kalimat Farid selesai, Hamka berdiri & mengacungkan tangan. “Pimpinan !”, serunya, “Jangan saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka yg harus mundur….”.

Mendengar itu, Farid menghentikan pidatonya. Ia lalu turun menuju Hamka. Hamka pun menyongsong Farid. Keduanya lalu berpelukan dg air mata bercucuran. Semua tertegun. Lalu menyusul ucapan hamdalah,
tepuk tangan, & ada yg bertakbir. Persoalan selesai.

Sidang tanwir terus berjalan membicarakan agenda lain. Setelah itu muncul berita di harian Abadi berjudul,
“Muhammadiyah Tdk Pecah !”

Alangkah indahnya dinamika dalam Muhammadiyah yg dicontohkan para pendahulu.

Sesungguhnya, perbedaan pendapat selalu ada.

Yg berbeda cara menyikapinya. Dulu, diselesaikan dg sikap dewasa, dg ikhlas hati, tdk mengedepankan harga diri.

Rukun & damai dalam keindahan itu tdk sulit asal ada kemauan, begitu kata Al–Quran.

“Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan membukakan jalan kpd mereka”. (QS. An-Nisa’ [4] : 35).
.SELESAI.

Sumber: sangpencerah.id

Nb: Tulisan Djarnawi Hadikusumo & dimuat di buku 70 tahun Buya Hamka. Terbit akhir ’70an.


Leave a comment

Categories